Skip navigation

ANIMASI

DARI TEMAN SEPERJUANGAN – Eddie Bachroelhadi November 27 at 9:38am

1. Sejarah Animasi

Animasi merupakan suatu teknik yang banyak sekali dipakai di dalam dunia film dewasa ini, baik sebagai suatu kesatuan yang utuh, bagian dari suatu film, maupun bersatu dengan film live. Dunia film sebetulnya berakar dari fotografi, sedangkan animasi berakar dari dari dunia gambar, yaitu ilustrasi desain grafis (desain komunikasi visual). Melalui sejarahnya masing-masing, baik fotografi maupun ilustrasi mendapat dimensi clan wujud baru di dalam film live clan animasi.

Dapat dikatakan bahwa animasi merupakan suatu media yang lahir dari dua konvensi atau disiplin, yaitu film clan gambar. Untuk dapat mengerti clan memakai teknik animasi, kedua konvensi tersebut harus dipahami dan dimengerti.

Film, biasa dipakai untuk merekam suatu keadaan, atau mengemukakan sesuatu. Film dipakai untuk memenuhi suatu kebutuhan umum, yaitu mengkomunikasikan suatu gagasan, pesan atau kenyataan. Karena keunikan dimensinya, clan karena sifat hiburannya, film telah diterima sebagai salah satu media audio visual yang paling popular dan digemari. Karena itu juga dianggap sebagai media yang paling efektif.

Untuk dapat mempergunakan media film ada dua masalah pokok yang harus dihadapi, yaitu masalah teknis film clan masalah teknik mengemukakan sesuatu denga film atau biasa disebut teknik presentasi. Demikian juga dengan hal yang harus diketahui di dalam film animasi, yaitu masalah teknik animasi, dan masalah teknik mengkomunikasikan sesuatu dengan teknik animasi. Sering perkataan teknik berkomunikasi lebih akrab dikatakan seni berkomunikasi.

Di dalam kenyataannya memang hal ini sangat erat hubungannya dengan berbagai bidang kegiatan seni, baik visual maupun verbal atau teateral. Bagi seorang perencana komunikasi, kegiatan ini sangat penting dimengerti. Seorang pembuat film akan mengahadapi masalah teknik membuat film dan seni membuat film.

Semua hal yang tertulis di dalam pembahasan ini, bukanlah suatu batasan, melainkan suatu cara melihat dan ringkasan permasalahan yang harus dikembangkan.

2.Asal Mula Teknik Film Animasi

Keinginan manusia untuk membuat gambar atau santiran (image) yang hidup dan bergerak sebagai pantara dari pengungkapan (expression) mereka, merupakan perwujudan dari bentuk dasar animasi yang hidup berkembang. Kata animasi itu sendiri sebenarnya penyesuaian dari kata animation, yang berasal dari kata dasar to animate, dalam kamus umum Inggris-Indonesia berarti menghidupkan (Wojowasito 1997). Secara umum animasi merupakan suatu kegiatan menghidupkan, menggerakkan benda mati; Suatu benda mati diberikan dorongan kekuatan, semangat dan emosi untuk menjadi hidup dan bergerak, atau hanya berkesan hidup.

Sebenarnya, sejak jaman dulu, manusia telah mencoba meng animasi gerak gambar binatang mereka, seperti yang ditemukan oleh para ahli purbakala di gua Lascaux Spanyol Utara, sudah berumur dua ratus ribu tahun lebih; Mereka mencoba untuk menangkap gerak cepat lari binatang, seperti celeng,bison atau kuda, digambarkannya dengan delapan kaki dalam posisi yang berbeda dan bertumpuk (Hallas and Manvell 1973:23).

Orang Mesir kuno menghidupkan gambar mereka dengan urutan gambar-gambar para pegulat yang sedang bergumul, sebagai dekorasi dinding. Dibuat sekitar tahun 2000 sebelum Masehi (Thomas 1958:8)

Lukisan Jepang kuno memperlihatkan suatu alur cerita yang hidup, dengan menggelarkan gulungan lukisan, dibuat pada masa Heian(794-1192) (ensiklopedi Americana volume 19, 1976). Kemudian muncul mainan yang disebut Thaumatrope sekitar abad ke 19 di Eropa, berupa lembaran cakram karton tebal, bergambar burung dalam sangkar, yang kedua sisi kiri kanannya diikat seutas tali, bila dipilin dengan tangan akan memberikan santir gambar burung itu bergerak (Laybourne 1978:18).

Hingga di tahun 1880-an, Jean Marey menggunakan alat potret beruntun merekam secara terus menerus gerak terbang burung, berbagai kegiatan manusia dan binatang lainnya. Sebuah alat yang menjadi cikal bakal kamera film hidup yang berkembang sampai saat ini. Dan di tahun 1892, Emile Reynauld mengembangkan mainan gambar animasi ayng disebut Praxinoscope, berupa rangkaian ratusan gambar animasi yang diputar dan diproyeksikan pada sebuah cermin menjadi suatu gerak film, sebuah alat cikal bakal proyektor pada bioskop (Laybourne 1978:23).

Kedua pemula pembuat film bioskop, berasal dari Perancis ini,dianggapsebagai pembuka awal dari perkembangan teknik film animasi(Ensiklopedi AmericanavoLV1,1976:740)

Sepuluh tahun kemudian setelah film hidup maju dengan pesat-nya di akhir abad ke 19. Di tahun 1908, Emile Cohl pemula dari Perancis membuat film animasi sederhana berupa figure batang korek api. Rangkaian gambar-gambar blabar hitam(black-line) dibuat di atas lembaran putih, dipotret dengan film negative sehingga yang terlihat figur menjadi putih dan latar belakang menjadi hitam.

Sedangkan di Amerika Serikat Winsor McCay (lihat gambar disamping) membuat film animasi “Gertie the Dinosaur” pada tahun 1909. Figur digambar blabar hitam dengan latar belakang putih. Menyusul di tahun-tahun berikutnya para animator Amerika mulai mengembangkan teknik film animasi di sekitar tahun 1913 sampai pada awal tahun 1920-an; Max Fleischer mengembangkan “Ko Ko The Clown” dan Pat Sullivan membuat “Felix The Cat”. Rangkaian gambar-gambar dibuat sesederhana mungkin, di mana figure digambar blabar hitam atau bayangan hitam bersatu dengan latar belakang blabar dasar hitam atau dibuat sebaliknya. McCay membuat rumusan film dengan perhitungan waktu, 16 kali gambar dalam tiap detik gerakan.

Fleischer dan Sullivan telah memanfaatkan teknik animasi sell, yaitu lembaran tembus pandang dari bahan seluloid (celluloid) yang disebut “cell”. Pemula lainnya di Jerman, Lotte Reineger, di tahun 1919 mengembangkan film animasi bayangan, dan Bertosch dari Perancis, di tahun 1930 membuat percobaan film animasi potongan dengan figure yang berasal dari potongan-potongan kayu. Gambar berikut adalah tokoh “Gertie The Dinosaurs”, dan “Felix the Cat”

George Pal memulai menggunakan boneka sebagai figure dalam film animasi pendeknya, pada tahun 1934 di Belanda. Dan Alexsander Ptushko dari Rusia membuat film animasi boneka panjang “The New Gulliver” di tahun 1935.

Di tahun 1935 Len Lye dari Canada, memulai menggambar langsung pada film setelah memasuki pembaharuan dalam film berwarna melalui film”Colour of Box”. Perkembangan Teknik film animasi yang terpenting, yaitu di sekitar tahun 1930-an. Dimana muncul film animasi bersuara yang dirintis oleh Walt Disney dari Amerika Serikat, melalui film”Mickey Mouse”, “Donald Duck” dan ” Silly Symphony” yang dibuat selama tahun 1928 sampai 1940.

Pada tahun 1931 Disney membuat film animasi warna pertama dalam filmnya “Flower and Trees”. Dan film animasi kartun panjang pertama dibuat Disney pada tahun 1938, yaitu film “Snow White and Seven Dwarfs”.

Demikian asal mula perkembangan teknik film animasi yang terus berkembang dengan gaya dan ciri khas masing-masing pembuat di berbagai Negara di eropa, di Amerika dan merembet sampai negara negara di Asia. Terutama di Jepang, film kartun berkembang cukup pesat di sana, hingga pada dekade tahun ini menguasai pasaran film animasi kartun di sini dengan ciri dan gayanya yang khas.

3.Sikap Asas Film Animasi

Film animasi berasal dari dua disiplin, yaitu film yang berakar pada dunia fotografi dan animasi yang berakar pada dunia gambar. Kata film berasal dari bahasa inggris yang telah di Indonesiakan, maknanya dapat kita lihat pada kamus umum Bahasa Indonesia:

“1 barang tipis seperti selaput yang dibuat dari seluloid empat gambar potret negative (yang akan dibuat potret atau dimainkan dalam bioskop); 2 lakon (cerita) gambar hidup;” (Poerwadarminfa 1984)

Secara mendasar pengertian film yang menyeluruh sulit dijelaskan. Baru dapat diartikan kalau dilihat dari konteksnya; misalnya dipakai untuk potret negatif atau plat cetak, film mengandung pengertian suatu lembaran pita seluloid yang diproses secara kimia sebelum dapat dilihat hasilnya; atau yang berhubungan dengan cerita atau lakon, film mengandung pengertian sebagai gambar hidup atau rangkaian gambar-gambar yang bergerak menjadi suatu alur cerita yang ditonton orang, bentuk film yang mengandung unsur dasar cahaya, suara dan waktu.

Sedangkan pengertian animasi secara khusus dapat kita simak pada ensiklopedi “Americana”:

“Animated, a motion picture consisting of series of invidual hand-drawn sketches, in which the positions or gestures of the figures are varied slightly from one sketch to another. Generally, the series is film and, when projected on screen, suggest that figures are moving” (Encyclopedia Americana vol. V1,1976).

Teknik film animasi, sperti halnya film hidup, dimungkinkan adanya perhitungan keceaptan film yang berjalan berurutan antara 18 sampai 24 gambar tiap detiknya.

Gambar yang diproyeksikan ke layar sebetulnya tidak bergerak, yang terlihat adalah gerakan semu, terjadi pada indra kita akibat perubahan kecil dari satu gambar ke gambar yang lain, adanaya suatu fenomena yang terjadi pada waktu kita melihat, disebut Persistence of Vision, sehingga menghasilkan suatu ilusi gerak dari pandangan kita.

Berbeda dengan film hidup, gambar diambil dari pemotretan obyek yang bergerak, lalu dianalisis satu persatu menjadi beberapa gambar diam pada tiap bingkai pita seluloid.

Sedangkan film animasi, gerak gambar diciptakan dengan menganalisis gambar per gambar atau kerangka demi kerangka oleh animator, lalu direkam gambar demi gambar atau gerak demi gerak dengan menggunakan kamera stop-frame, kamera yang memakai alat mesin penggerak frame by frame, yaitu alat penggerak pita seluloid bingkai per bingkai, dengan perhitungan waktu untuk tiap satu detik dibutuhkan 24 bukaan bingkai kamera untuk merekam gambar, gerak ke pita seluloid.

4. Beberapa Jenis Teknik Film Animasi

Berdasarkan materi atau bahan dasar obyek animasi yang dipakai, secara umum jenis teknik film animasi digolongkan dua bagian besar, film animasi dwi-matra (flat animation) dan film animasi tri matra(object animation).

Film animasi Dwi-matra (flat animation)

Jenis film animasi ini seluruhnya menggunakan bahan papar yang dapat digambar di atas permukaannya. Disebut juga jenis film animasi gambar, sebab hamper semua obyek animasinya melalui runtun kerja gambar. Semua runtun kerja jenis film animasi ini dikerjakan di atas bidang datar atau papar.

Beberapa jenis film animasi dwi-matra adalah:

a. Film animasi sel(Cel Technique)

Jenis film animasi ini merupakan teknik dasar dari film animasi kartun (cartoon animation). Teknik animasi ini memanfaatkan serangkaian gambar yang dibuat di atas lembaran plastic tembus pandang, disebut sel.

Figur animasi digambar sendiri-sendiri di atas sel untuk tiap perubahan gambar yang bergerak, selain itu ada bagian yang diam, yaitu latar belakang (background), dibuat untuk tiap adegan, digambar memanjang lebih besar daripada lembaran sel.

Lembaran sel dan latar diberi lobang pada salah satu sisinya, untuk dudukan standar page pada meja animator sewaktu di gambar, dan meja dudukan sewaktu dipotret.

b. Penggambaran langsung pada film

Tidak seperti pada film animasi lainnya, jenis film animasi ini menggunakan teknik penggambaran obyek animasi dibuat langsung pada pita seluloid baik positif atau negative, tanpa melalui runtun pemotretan kamera stop frame, untuk suatu kebutuhan karya seni yang bersifat pengungkapan. Atau yang bersifat percobaan, mencari sesuatu yang baru.

Film Animasi Tri-matra (Object Animation)

Secara keseluruhan, jenis film animasi tri-matra menggunakan teknik runtun kerja yang sama dengan jenis film animasi dwi-matra, bedanya obyek animasi yang dipakai dalam wujud tri-matra. Dengan memperhitungkan karakter obyek animasi, sifat bahan yang dipakai, waktu, cahaya dan ruang.

Untuk mengerakkan benda tri-matra, walaupun itu mungkin, tapi cukup sulit untuk melaksanakannya, karena sifat bahan yang dipakai mempunyai ruang gerak yang terbatas. Tidak seperti jenis., film animasi gambar, bebas melakukanberbagai gerakan yang diinginkan.

Berdasarkan bentuk dan bahan yang digunakan, termasuk dalam jenis film animasi ini adalah :

a. Film Animasi Boneka (Puppet Animation)

Obyek animasi yang dipakai dalam jenis film animasi ini adalah boneka dan figur lainnya, merupakan penyederhanaan dari bentuk alam benda yang ada, terbuat dari bahan-bahan yang mempunyai sifat lentuk (plastik) dan mudah untuk digerakkan sewaktu melakukan pemotretan bingkai per bingkai, seperti bahan kayu yang mudah ditatah atau diukir, kain, kertas, lilin, tanah lempung dan lain-lain, untuk dapat menciptakan karakter yang tidak kaku dan terlalu sederhana.

b. Film Animasi Model

Obyek animasi tri-matra dalam jenis film ini berupa macam macam bentuk animasi ayng bukan boneka dan sejenisnya, seperti bentuk-bentuk abstark; balok, bola, prisma, piramida, silinder, kerucut dan lain-lain. Atau bentuk model, percontohan bentuk dari ukuran sebenarnya, seperti bentuk molekul dalam senyawa kimia, bola bumi.

Bentuk obyek animasi sederhana, penggunaannya pun tidak terlalu rumit dan tidak banyak membutuhkan gerak, bahan yang dipakai terdiri dari kayu, plastic keras dan bahan keras lainnya yang sesuai denga sifat karakter materi yang dimiliki, tetapi tidak berarti bahan lentuk tidak dipakai.

Disebut juga film animasi non-figur, karena keseluruhan cerita tidak membutuhkan tokoh atau figure lainnya. Jenis film Teknik yang memanfaatkan lembaran sel merupakan suatu pertimbangan penghematan gambar, dengan memisahkan bagian dari obyek animasi yang bergerak, dibuat beberapa gambar sesuai kebutuhan; dan bagian yang tidak bergerak, cukup dibuat sekali saja.

c. Film Animasi Potongan (Cut-out Animation)

Jenis film animasi ini, termasuk penggunaan teknik yang sederhana dan mudah. Figur atau obyek animasi dirancang, digambar pada lembaran kertas lalu dipotong sesuai dengan bentuk yang telah dibuat, dan diletakkan pada sebuah bidang datar sebagai latar belakangnya. Pemotretan dilakukan dengan menganalisis langsung tiap gerakan dengan tangan, sesuai denagn tuntutan cerita.

Dengan teknik yang sederhana, gerak figur atau obyek animasi menjadi terbatas sehingga karakternyapun terbatas pula. Karakter figur dibuat terpisah, biasanya, terdiri dari tujuh bagian yang berbeda; kepala, leher, badan, dua tangan dan dua kaki. Untuk menggerakkan dan menghidupkan karakter, pemisahan itu bias disesuaikan dengan tuntutan cerita, bisa dibuat kurang dari bagian tadi atau lebih.

d. Film Animasi Bayangan (Silhoutte Animation)

Seperti halnya pertunjukan wayang kulit, jenis film animasi ini menggunakan cara yang hampir sama, figur atau obyek animasi berupa bayangan dengan latar belakang yang terang, karena pencahayaannya berada di belakang layer.

Teknik yang dipakai sama dengan film animasi potongan, yaitu figur digambar lalu dipotong sesuai dengan bentuk yang digambar dan diletakkan pada latar di meja dudukan kamera untuk dipotret. Bedanya di sini, kertas yang dipakai tidak seperti animasi potongan, bahan kertas berwarna atau diberi warna sesuai dengan kebutuhan, sedangkan film animasi bayangan seluruhnya menggunakan bahan kertas berwarna gelap atau warna hitam, baik itu figur atau obyek animasi lainnya.

e. Film Animasi Kolase (Collage Animation)

Yang selalu berhubungan dengan jenis film animasi ini adalah sebuah teknik yang bebas mengembangkan keinginan kita untuk menggerakkan obyek animasi semaunya di meja dudukan kamera. Teknik cukup sederhana dan mudah dengan beberapa bahan yang bisa dipakai; potongan Koran, potret, gambar-gambar, huruf atau penggabungan dari semuanya. Gambar dan berbagai bahan yang dipakai, disusun sedemikian rupa lalu dirubah secara berangsur angsur menjadi bentuk susunan baru, dimana tiap perubahan penempelan dipotret dengan kamera menjadi suatu bentuk film animasi yang bebas.

Perkembangan suatu perusahaan, diagram suatu jaringan dalam tubuh organisme, pembuatan credit title dalam sebuah film cerita dan lain sebagainya.

5. Penggunaan Film Animasi

Penggunaan film animasi sebagai suatu bentuk pantara rupa rungu (audio visual medium), cukup berperan penting dalam menyebarkan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan ke masyarakat luas. Film animasi dipakai pada:

1. Televisi komersial; Film animasi digunakan dengan tujuan komersial, seperti film Wan pada televise, sebagai sisipan di antara acara-acara program televise, berupa pesan-pesan pendek kepada pirsawan dan sebagai film hiburan.
2. Bioskop; Film animasi bisa sebagai film cerita panjang, film cerita pendek, dan film sisipan untuk Man pada bioskop.
3. Pelayanan Pemerintah; Film animasi digunakan sebagai film propaganda, film penerangan dan pendidikan.
4. Perusahaan; film animasi digunakan sebagai film hubungan masyarakat (public relations) seperti: film penerangan, film pendidikan dan film propaganda atau film Man pengenalan produk.

6. Jenis-jenis Animasi

Animasi yang dulunya mempunyai prinsip yang sederhana, sekarang telah berkembang menjadi beberapa jenis, yaitu:
Animasi 2D, Animasi 3D, Animasi tanah Hat (Clay Animation), Animasi Jepang (Anime).

a. Animasi 2D (2 Dimensi)

Animasi ini yang paling akrab dengan keseharian kita. Biasa juga disebut dengan film kartun. Kartun sendiri berasal dari kata Cartoon, yang artinya gambar yang lucu. Memang, film kartun itu kebanyakan film yang lucu. Contohnya banyak sekali, baik yang di TV maupun di Bioskop. Misalnya: Looney Tunes, Pink Panther, Tom and Jerry, Scooby Doo, Doraemon, Mulan, Lion King, Brother Bear, Spirit, dan banyak lagi. Meski yang populer kebanyakan film Disney, namun bukan Walt Disney sebagai bapak animasi kartun. Contoh lainnya adalah Felix The Cat, si kucing hitam. Umur si kucing itu sudah lumayan tua, dia diciptakan oleh Otto Messmer pada tahun 1919. Namun sayang, karena distribusi yang kurang baik, jadi kita sukar untuk menemukan film-filmnya. Bandingkan dengan Walt Disney yang sampai sekarang masih ada misalnya Snow White and The Seven Dwarfs (1937) dan Pinocchio (1940).

b. Animasi 3D (3 Dimensi)

Perkembangan teknologi dan komputer membuat teknik pembuatan animasi 3D semakin berkembang dan maju pesat. Animasi 3D adalah pengembangan dari animasi 2D. Dengan animasi 3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud manusia aslinya. Semenjak Toy Story buatan Disney (Pixar Studio), maka berlomba lombalah studio film dunia memproduksi film sejenis. Bermunculanlah, Bugs Life, AntZ, Dinosaurs, Final Fantasy, Toy Story 2, Monster Inc., hingga Finding Nemo, The Incredible, Shark Tale. Cars, Valian. Kesemuanya itu biasa juga disebut dengan animasi 3D atau CGI (Computer Generated Imagery).

c. Animasi Tanah Liat (Clay Animation)

Kata orang, meskipun sekarang sudah jamannya Pizza dan Bistik, namun terkadang kita juga masih kangen dengan masakan tradisional seperti sayur asem. Ungkapan tersebut cocok buat animasi Clay Animation.

Jenis ini yang paling jarang kita dengar dan temukan diantara jenis lainnya. Padahal teknik animasi ini bukan termasuk teknik baru seperti pada saat Toy Story membuka era baru animasi 3D. Bahkan, boleh dibilang nenek moyangnya animasi. Karena animasi pertama dalam bentuk CIayAnimation. Meski namanya clay (tanah liat), yang dipakai bukanlah tanah liat biasa. Animasi ini memakai plasticin, bahan lentur seperti permen karet yang ditemukan pada tahun 1897. Tokoh-tokoh dalam animasi Clay dibuat dengan memakai rangka khusus untuk kerangka tubuhnya, lalu kerangka tersebut ditutup dengan plasficine sesuai bentuk tokoh yang ingin dibuat. Bagian-bagian tubuh kerangka ini, seperti kepala, tangan, kaki, disa dilepas dan dipasang lagi. Setelah tokoh-tokohnya siap, lalu difoto gerakan per gerakan. Foto-foto tersebut lalu digabung menjadi gambar yang bisa bergerak seperti yang kita tonton di film. Animasi Clay termasuk salah satu jenis dari Stop-motion picture. Film Animasi Clay Pertama dirilis bulan Februari 1908 berjudul, A Sculptors Welsh Rarebit Nightmare. Untuk beberapa waktu yang lalu juga, beredar film clay yang berjudul Chicken Run.

d. Animasi Jepang (Anime)

Film-film yang dibahas diatas adalah kebanyakan buatan Amerika dan Eropa. Namun, Jepang pun tak kalah soal animasi. Jepang sudah banyak memproduksi anime (sebutan untuk animasi Jepang). Berbeda dengan animasi Amerika, anime Jepang tidak semua diperuntukkan untuk anak-anak, bahkan ada yang khusus dewasa.

Bicara tentang anime, ada tokoh legendaris, yaitu Dr. Osamu Tezuka. Beliau menciptakan Tetsuwan Atom atau lebih dikenal dengan Astro Boy. Seperti film animasi Amerika atau Eropa, Anime juga terdiri dari beberapa jenis, tapi yang membedakan bukan cara pembuatannya, melainkan formatnya, yaitu serial televisi, OVA, dan film bioskop.

7. Software Pembuat Animasi

Di pasaran sekarang ini sudah banyak beredar softwarwe pembuat animasi, baik itu 2D atau 3D. Untuk lebih jelasnya perhatikan daftar dibawah ini yang disusun berdasarkan kriterianya.

Software Animasi 2 Dimensi:
Macromedia Flash, CoRETAS, Corel R.A.V.E., After Effects, Moho, CreaToon, ToonBoom, Autodesk Animaton (1990-an) dll

Software Animasi 3 Dimensi:
Maya, 3D Studio Max, Maxon Cinema 4 D, LightWave, Softlmage, Poser, Motion Builder, Hash Animation Master, Wings 3D, Carrara, Infini-D, Canoma dll

8. Perkembangan Animasi Di Indonesia

Bagaimana dengan perkembangan Animasi di Indonesia sendiri? Yang mempunyai sejarah animasi cukup lama dengan wayang kulitnya. Pada tahun 1980-an, ada film animasi produk Indonesia yang jadi serial Televisi yaitu si Huma yang menjadi favorit anak-anak pada masa itu. Tahun 2004, merupakan sejarah bagi per-Animasian Indonesia dengan dibuatnya film cerita panjang animasi 3D pertama oleh Studio KasatMata Jogja bekerja sama dengan Kelompok Visi Anak Bangsa Pimp. Garin Nugroho, membuat film animasi 3D “Homeland” dengan sutradara Gangsar Waskito.

Sumber: zawa.blogsome.com

……………………………….

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA

DARI TEMAN SEPERJUANGAN – Eddie Bachroelhadi November 23 at 11:32am

Film pertamakali diperkenalkan kepada khalayak Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu) pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa ini film disebut sebagai “Gambar Idoep”. Hal ini termaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): “Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50.”

Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.

Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP) dan Kelas III (kemudian disebut kelas “kambing” yang identik dengan pribumi). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Namun film yang sebenar-benarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).

Sedikit cerita soal Bioskop Majestic (Pusat Kebudayaan Asia-Afrika/Asia-Africa Cultural Centre (AACC) sekarang):
Pada masanya, gedung bisokop ini dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga, Bandung. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan. Didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker.

Pemutaran film pada masa ini, biasanya didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Pemutaran filmnya sendiri baru dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop Majestic, sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih meruapakan film bisu. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.

………

ERA 1930 – 1941

Tahun 1931-an, Perfilman Indonesia mulai bersuara. Bahkan film dari Hollywood yang masuk sudah menggunakan teks melayu. Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yg membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yg memproduksi Setangan Berloemoer Darah.

Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.

Selama kurun waktu itu (1926 – 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.

Pada periode 1933-1936, perfilman Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.

Di tahun 1937, Film musikal “Terang Boelan” (het Eilan Der Droomen) menjadi film terpopuler di eranya dan mencuatkan nama Roekiah serta Raden Mochtar sebagai pasangan aktror dan aktris yang paling digemari. Film ini adalah produksi dua kekuatan non-pribumi: Krugers dan Wong Bersaudara.

Hingga periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Pada periode ini, produksi film Indonesia mengalami panen pertama kali dan mencapai puncaknya pada tahun 1941. Ditahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yg diproduksi, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film bersifat dokumenter. Film-film yang diproduksi pada masa ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.

Tahun 1934 para pelaku industri film mulai membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia (Nederlandsch Indiche Bioscoopbond), menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film (Bond van Film Importeurs). Pada awalnya, pengurus dan anggotanya adalah orang-orang non-pribumi. Ketika dalam organisasi tersebut mulai masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belandapun mulai mencurigai badan tersebut sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka.

Oleh karenanya, Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie (cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini. Dasar hukumnya yang menjadi landasan dibetuknya Film Commisie adalah Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda (cikal bakal lahirnya BP2N dan Undang-Undang Perfilman Indonesia di masa kini).

………

ERA 1942 – 1944

Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya Klub Kritisi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda.

Gayung bersambut. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.

Tatkala Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara.

Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.

Kemudian Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha (cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari dan membuat sebuah film. Para sineas yang temasuk di dalamnya antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.

Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang. Dan menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).

Nama-nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya: Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo.

Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi.

Namun perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga mengalami masa dilematis. Jumlah bioskop semakin hari semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan.

Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan Militer Jepang.

Dalam suasana politik seperti itu timbullah kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan semata, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan K Gani pun ikut main dalm sebuah film.

Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama pendekar seni, seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang.

Di masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail.

Iklim politik mulai berubah, tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini hingga masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Pergerakan berbau pulotik ini kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka; Sementara itu di Sumatera Barat ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia.

Studio film Jepang, Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI.

Pada masa ini pula lahir tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).

Pada tahun 1946, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan darurat. Oleh karenanya di kota ini berdiri sekolah film bernama Cine Drama Institute atau CDI. Dan pendirinya, antara lain: Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul juga sekolah film bernama KDA yang dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini dan lain-lain. Para pendiri KDA ini juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit.

Film Indonesia yang lainnya yang diproduksi setelah kemerdekaan ini, antara lain: Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail).

Pada era ini, minat masyarakat terhadap film-film Hollywood muncul kembali lagi. Film-film ini masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan film, seperti: Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia, dsb. Masuknya film-film impor ini dengan mudah ke tanah air karena sama sekali tak dibatasi kuota impornya.

Disunting dari Tulisan seorang Teman St. Ahmad Idrus JM

………………………..

WARNA LOKAL DALAM FILM INDONESIA

DARI TEMAN SEPERJUANGAN – Eddie Bachroelhadi January 5 at 5:51pm

PENGERTIAN warna lokal dalam film Indonesia bukan hanya film berdasarkan cerita rakyat di suatu daerah, melainkan juga film yang sepenuhnya menampilkan kultur daerah. Memang ada beberapa film yang melakukan “shooting” di daerah, misalnya di Pangalengan, Bandung, Pangandaran, tetapi tidak ada kaitannya dengan menampilkan unsur kedaerahan dalam pengertian budaya. Jika daerah tersebut dijadikan tempat lokasi, hanyalah untuk memanfaatkan alam atau suasana kota, yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kehidupan daerah tersebut.

Berbeda dengan film “Laskar Pelangi” (2008), film terlaris sepanjang sejarah film Indonesia–bahkan terpilih sebagai Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2009–merupakan film yang kental dengan warna lokal. Bukan hanya karena sepenuhnya mengambil lokasi cerita di Belitong, melainkan juga dialeknya, suasana lingkungannya, budayanya, benar-benar membawa penonton larut dalam kisah yang terjadi di Belitong.

Munculnya warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak kehadiran film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Pada tahun 1926, NV Java Film Company, yang berdiri di Bandung, membuat film cerita rakyat Tatar Sunda “Loetoeng Kasaroeng”. Bahkan setahun kemudian, G. Krugers, pembuat “Loetoeng Kasaroeng”, kembali menggarap film “Eulis Acih”, dan “Karnadi Tangkap Bangkong”.

Tahun 1928, Tan`s Film milik Tan Bersaudara, membuat film berdasarkan kisah legendaris dari Betawi “Nyai Dasima”, yang disutradarai oleh Lie Tek Soei. Kisah lain dari Betawi yang dibuat film berjudul “Si Ronda” (1930) yang disutradarai oleh Bachtiar Effendi dan “Si Pitung” (1932).

Sekitar tahun 1930 – 1942, cukup banyak film Indonesia yang bersumber dari kekayaan cerita daerah atau film yang berlatar belakang budaya daerah. Tahun 1930, Tan`s Film membuat film “Bunga Ros dari Cikembang” produksi Cine Motion Picture yang disutradarai Tan Teng Chun alias Tachjar Ederis. Kemudian muncul film “Rencong Aceh” (1939), “Keris Mataram” (1941), “Ciung Wanara” (1941), “Mustika dari Jenar” (1942), “Nusa Penida” (1942), dan yang lainnya.

Patut dicatat pula sebuah film yang menampilkan pasangan Raden Muhtar asal Cianjur dan R. Sukarsih asal Cikoneng Tasikmalaya, judulnya “Pareh” (1934). Film tersebut, dianggap film penting, dan dokumentasinya ada di Sinematek Belanda.

Tanggal 30 Maret 1950, NV Perfini milik H. Usmar Ismail, menggarap film perdananya “Darah dan Do`a”, sebuah kisah berdasarkan peristiwa long march Pasukan Siliwangi dari Yogya ke Jawa Barat, disutradarai oleh Usmar berdasarkan skenario Sitor Situmorang. Karena film tersebut merupakan film yang sepenuhnya digarap oleh warga pribumi, mulai dari produser, sutradara, pemain, dan yang lainnya, maka tanggal pembuatan film tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional, 30 Maret.

Selanjutnya, kian banyak film warna lokal yang dibuat oleh produser film pribumi, antara lain”Jayaprana”, (PPFN), “Damarwulan (Jakarta Film Co), “Turang” (Rofiq/Yayasan Gedung Pemuda- 1957), “Tanjung Katung” (PESFIN Motion Production – 1957), “Gending Sriwijaya” (Dharma Ikatan Artis Nasional -1958), “Bintang Surabaya”, “Air Mata Mengalir di Citarum”, “Tirtonadi” (1950), “Rahasia Telaga Warna” (1951), “Sepanjang Malioboro” (1952), “Konde Cioda” (1953), “Harimau Campa” (1953), “Lenggang Jakarta” (1953), “Kuala Deli” (1955), “Peristiwa di Danau Toba” (1955), “Serampang Dua Belas” (1956), “Lompong Sagu” (1960), “Macan Kemayoran” (Aries Nusantara Film, 1965), “Jampang Mencari Naga Hitam” (Dewan Film Nasional, 1969).

Cerita rakyat Lutung Kasarung paling banyak dibuat film. Setelah dibuat film pada tahun 1926, dibuat lagi pada tahun 1952, salah seorang pemeran utamanya Tina Melinda. Kemudian pada tahun 1983, Inem Film menggarap kembali kisah dari Tatar Sunda itu dengan pemeran utamanya Enny Beatrice.

SI KABAYAN

Film cerita rakyat yang paling populer dibuat film dan sinetron adalah kisah tentang Si Kabayan. Tahun 1960-an, cerita Si Kabayan pernah dibuat gendingkaresmen oleh Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Salah seorang pemeran Si Kabayan yang paling populer dalam gending karesemen adalah Tajudin Nirwan.

Ketika dibuat serial untuk televisi, yang dipelopori oleh R. Ading Affandi sebagai sutradara dan penulis naskah, tokoh Si Kabayan saat itu diperankan oleh Abah Us Us, pelawak terkenal dari grup De Bodor. Bahkan sewaktu Si Kabayan dibuat film oleh PT Diah Pitaloka Film, cerita dan skenarionya masih tetap digarap oleh Ading Affandi. Tokoh Si Kabayan diperankan oleh Kang Ibing, yang kemudian mendirikan grup lawak De Kabayan. Film tersebut disutradarai oleh Bay Isbahi. Tokoh Nyi Iteung diperankan oleh Lenny Marlina.

Pada tahun 1989, PT Kharisma Jabar Film melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, menggarap film “Si Kabayan Saba Kota”, yang disutradarai H. Maman Firmansyah berdasarkan cerita Min Resmana, skenarionya ditulis oleh saya sendiri. Pemeran Si Kabayan dipercayakan kepada Didi Petet, sedangkan tokoh Nyi Iteung dimainkan oleh Paramitha Rusady. Film tersebut merupakan realisasi dari SKB Tiga Menteri, yang isinya, agar setiap provinsi di Indonesia membuat film berdasarkan cerita dari daerahnya masing-masing.

Film “Si Kabayan Saba Kota” ternyata mampu mencatat rekor sebagai film daerah yang sukses dalam pemutarannya di seluruh Indonesia. Di Jakarta, tercatat sebagai film terlaris ketiga. Bahkan, film tersebut terpilih sebagai Film Komedi Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1990.

Kerjasama PT Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar kemudian dilanjutkan dengan membuat film “Si Kabayan dan Gadis Kota”, “Si Kabayan dan Anak Jin”, “Si Kabayan Saba Metropolitan”, dan “Si Kabayan Mencari Jodoh”.

Kecuali Jawa Barat, patut dicatat pula film berdasarkan cerita daerah lainnya, misalnya film “Nuansa Birunya Rinjani”, “Jeram Cinta” (mengambil lokasi di daerah Dayak/Kalimanta Timur), “Musang Berjanggut”, “Latando di Tanah Toraja”, “Mutiara dalam Lumpur”, “Sanrego”, “Malin Kundang”, “Kabut di Kintamani”, “Virgin in Bali”, dll.

Sukses film “Laskar Pelangi” sesungguhnya bisa dijadikan ukuran, bahwa film dengan latar belakang sebuah daerah, memiliki potensi dayatarik komersial. Meskipun sukses film tersebut tak lepas dari sukses novel karya Andrea Hirata, tetapi ciri khas daerah yang diangkat ke layar putih tetap punya potensi untuk terus dikembangkan.

Tradisi sukses film yang menampilkan warna lokal, yang ditunjukkan oleh “Si Doel Anak Betawi”, “Si Pitung”, “Macan Kemayoran”, “Si Kabayan Saba Kota”, hingga “Laskar Pelangi”, sesungguhnya bisa menjadi patokan salah satu pilihan bagi sekian banyak produser yang terus bermunculan di era reformasi.

Seandainya saja, karya sastra daerah dan cerita rakyat bisa menjadi acuan bagi para produser film, film Indonesia akan diperkaya dengan pesona cerita dengan beragam latar belakang budaya. Jika itu yang berkembang, film Indonesia yang berwarna Indonesia, yakni yang kental dengan warna lokal, akan memberikan identitas yang tegas di mata dunia. Bukankah ketika kita menyaksikan film Jepang atau India, akan tetap merasakan identitas kedua negara tersebut, walaupun ceritanya tentang kehidupan masa kini? Misalnya film India, hampir selalu tak lepas dari ciri khasnya; tari dan nyanyi.

Bangkitnya kembali warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sangat bergantung pada keinginan para produser untuk memanfaatkan potensi cerita daerah, baik itu berdasarkan karya sastra atau cerita rakyat. Jika pertimbangannya adalah bisnis, beberapa judul film dengan warna lokal yang kental telah membuktikan mampu menjadi film laris bahkan terlaris, sehingga mendatangkan keuntungan yang luar biasa.

Sayang, kebanyakan produser kurang begitu mengenal khazanah karya sastra daerah. (Eddy D. Iskandar/novelis dan penulis skenario)

Sumber: PIKIRAN RAKYAT

………………………..

FILM dan POLITIK IDENTITAS PEREMPUAN

DARI TEMAN SEPERJUANGAN – Eddie Bachroelhadi January 6 at 6:01pm

FILM adalah media penuangan imajinasi dan inspirasi dalam skenario pembabakan sesuai dengan narasi tekstual. Ia menjadi unit budaya, sekaligus teknologi penyampai pesan kepada khalayak. Film juga bisa menjadi bagian dari proyek social engineering atau sekadar memantapkan otoritas kultur masyarakat.

Dalam lintasan sejarah dan dialektika, film memiliki fungsi yang berbeda. Ia bisa menjadi komoditas entertainment, sarat pesan edukasi, sekaligus sebagai alat propaganda dari kepentingan kekuasaan.

Saat ini film di Indonesia sedang menuju era keemasan. Produksi film nasional per tahun sejak bangkit kembali di tahun 2001 — dipelopori film pop-remaja Ada Apa dengan Cinta (AADC)— mencapai 50-60 judul.

Namun, mayoritas judul/tema film itu masih menggambarkan kondisi epigonistik dan miskin kreatifitas gagasan. Temanya masih didominasi horor dan percintaan platonis remaja.

Namun ada juga beberapa film yang diproduksi dengan semangat idealis, yang justru menghasilkan apreasi tinggi dari masyarakat seperti Laskar Pelangi, Denias, dan King.

Lantas, bagaimana nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang bertema perempuan atau mengeksplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bisa dibedakan menjadi beberapa hal.

Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan beragam harapan dan ”tingkah laku”romantika percintaan. Kedua, tema simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor, di mana para tokoh antagonis (atau protagonis?) yang menjadi ”setan”adalah sosok perempuan.

Ketiga, tema kemuliaan keluarga, di mana perempuan mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-aspirasi dalam pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.

JUSTRU MELEDAK

Keempat, dan justru meledak, adalah film yang mengupas perempuan dalam kacamata politik identitas. Hal ini terwakili oleh Ayat-ayat Cinta (AAC) dan Ketika Cinta bertasbih, di mana perempuan dijadikan aktor sekaligus ”serdadu”lakon pelaksana dari standar moralitas yang dianggap ideal oleh penulis skenario.

Dalam AAC, perempuan dikisahkan sebagai pencari cinta yang tunduk kepada kebenaran tekstual religi, sehingga harus menerima takdir dalam perkawinan yang poligamis, meski tokoh laki-lakinya (Fahri) seolah meragukan entitas takdir poligamis tersebut.

Sutradara Hanung Bramantyo yang berideologi humanis-universal berhasil mereduksi kepentingan ideologis film AAC yang berbeda dengan pesan moralitas dalam novel Habiburahman El Shirazy.

Sedangkan dalam Ketika Cinta Bertasbih, menguat pesan politik identitas yang mengkristalisasikan moralitas agama yang harus dijalankan perempuan religius.

Perempuan yang religius adalah yang memainkan posisi, kultur, dan amanat sesuai dengan takdir teks keagamaan tanpa reserve. Meski jalan ceritanya menggambarkan indahnya pencarian cinta yang berujung pada perkawinan monogamis, namun identitas ”bermoral” dan ”tidak bermoralnya”perempuan kentara distandarisasi pada penampilan luar, kesantunan bahasa, atau kepatuhan kepada nasihat/ajaran.

Hal ini berbeda dengan pesan Perempuan Berkalung Sorban yang dibintangi Revalina S Temat. Film ini tegas menggambarkan pemberontakan perempuan atas tradisi yang patriarkhis, yang menindas kesetaraan hak perempuan. Atas nama tradisi, perempuan dilarang meneruskan sekolah dan yang paling layak hanya berada dalam posisi domestik.

TIGA KAVLING

Boleh dibilang, saat ini mainstream tematik perfilman nasional yang berelasi dengan nasib perempuan terbelah menjadi tiga kavling politik identitas.
Kavling pertama adalah politik identitas pasar. Kavling ini menjadikan film yang mengeksploatasi tubuh perempuan dalam skenario cerita horor, komedi seks, dan drama keluarga sebagai alat kepentingan ekonomi.

Alat ekonomi yang menyesuaikan dengan selera pasar. Pasar yang gemar dengan hantu perempuan yang seksi, perempuan berpakaian terbuka, atau perempuan yang menjadi korban dalam rumah tangga sebagai titik kisah jalan cerita.

Kavling kedua, politik identitas yang menggambarkan eksklusivitas ideologi. Film ini diproduksi berdasarkan roman sastra (novel) atau dibuat berdasarkan naskah lakon dengan pesan moral yang kental, dengan menyetir ukuran (standar) moralitas yang selalu ditempatkan dalam pemahaman oposisi biner. Moral perempuan yang baik selalu digambarkan sebagai tokoh protagonis.

Kavling ketiga, politik identitas kesetaraan gender. Film ini diproduksi untuk kepentingan idealis berdasarkan naskah yang menggambarkan proses resistensi perempuan atas ketidakadilan gender dan penindasan terhadap kaum perempuan.

Meski animo penonton untuk film seperti ini rendah, secara kualitas tema dan penggarapannya lebih unggul daripada film identitas pertama dan kedua. Nilai edukasinya lebih mengena dan masuk dalam logika berfikir penonton yang melihat film bukan sekadar untuk rekreasi, namun juga prokreasi.

— Ari Kristianawati, Guru SMAN 1 Sragen.

Leave a comment